BERNUS.CO - Penyelesaian sengketa di tubuh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) harus disudahi dengan supremasi hukum dengan instrument putusan kasasi Nomor: 29 K/TUN/2021 dan Nomor: 40 K/Pdt.Sus-HKI/2021. Artinya, negaralah harus pro aktif mengambil peran dalam menyelesaikan sengketa di tubuh PSHT.
“Sebagai Negara hukum (rechtsstaat), putusan kasasi Nomor: 29 K/TUN/2021 dan Nomor: 40 K/Pdt.Sus-HKI/2021 harus dipatuhi oleh pihak yang kalah yaitu PSHT kubu Muhammad Taufiq," kata Dwi Sudarsono, SH, Kamis malam (29/4/2021).
Dwi Sudarsono, yang juga anggota Lembaga Hukùm & Advokat (LHA) PSHT menambahkan, Putusan Kasasi Nomor: 29 K/TUN/2021 telah membatalkan badan hukum perkumpulan PSHT kubu Muhammad Taufiq. Sedangkan Putusan Kasasi Nomor: 40 K/Pdt.Sus-HKI/2021 menjatuhkan putusan H. Issoebiantoro (Ketua Dewan Pusat) hasil Parluh 2017 dan 2021 sebagai pemilik sah hak merek PSHT dan Setia Hati Terate (SHT).
Dengan dua putusan kasasi itu, pihak Muhammad Taufiq sebagai pihak yang kalah di pengadilan harus legowo. Selama ini, kubu Muhammad Taufiq terkesan setengah hati menolak kekalahan di pengadilan. Bahkan ada oknum pengurus PSHT kubu Muhammad Taufiq menuduh terjadi mafia pengadilan.
“Ironi jika ada oknum Pengurus PSHT kubu Muhammad Taufiq menyatakan terjadi mafia pengadilan dalam memutus kedua perkara kasasi itu," kata Dwi.
Padahal, kata Dwi, sengketa di tubuh PSHT telah berlangsung selama 4 tahun dan melalui proses hukum yang menguras energi.
Dwi menjelaskan, kedua putusan kasasi itu telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijde). Putusan kasasi adalah putusan pengadilan pada tingkat terahir yang dikeluarkan Mahkamah Agung dan dapat di eksekusi meskipun ada upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK).
“Selama ini Kubu Muhammad Taufiq masih bercuap-cuap di media sosial (Medsos) menolak menerima kekalahan di putusan Kasasi di tingkat Mahkamah Agung," ungkap Dwi.
Muhammad Taufiq selaku ;pihak yang kalah di Mahkamah Agung seharusnya menenangkan dan mengajak pendukungnya untuk nyawiji (bersatu) ke dalam tubuh PSHT dengan Ketua Umum Drs. Moerdjoko HW dan Dewan Pusat H. Issoebiantoro, SH.
Dwi berpendapat, instrumen supremasi hukum sebagai satu-satunya cara menyelesaikan masalah di tubuh PSHT. Bukan dengan cara memobilisasi massa dan menyebarkan informasi menyesatkan bagi warga yang belum banyak melek hukum.
LHA PSHT telah menyiapkan langkah-langkah hukum untuk mengeksekusi kedua putusan kasasi itu. Dalam waktu dekat sejumlah daerah akan melaporkan ke aparat penegak hukum bagi siapa saja yang menggunakan hak merek PSHT dan SHT, tanpa hak dan seizin pemegang hak merek atau kuasanya. “Social cost bagi pemerintah akan tinggi, jika supremasi hukum tidak ditegakkan," kata Dwi.
Dwi mengkawatirkan, apabila supremasi hukum tidak ditegakkan akan menimbulkan persekusi hingga terjadi gesekan fisik yang tentunya akan merugikan kita bersama.
Dwi mengajak kepada seluruh warga PSHT untuk nyawiji membangun PSHT sebagai organisasi persaudaraan kekal abadi selamanya. (Eko/Red)