Sebarkan Video Teror di Masjid, Terancam Penjara 14 Tahun

Wellington - Seorang pengusaha di Christchurch, New Zealand (Selandia Baru), ditahan dan diadili karena membagikan rekaman aksi teror mematikan di dua masjid. Pengusaha itu terancam hukuman 14 tahun penjara atas perbuatannya tersebut.

Seperti dilansir media lokal New Zealand Herald, Rabu (20/3/2019), pengusaha bernama Philip Neville Arps (44) yang berkantor di Christchurch itu, dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Distrik Christchurch pada Rabu (20/3) waktu setempat. Dia dijerat dua dakwaan menyebarkan video aksi penembakan di Masjid Al Noor.

Pengajuan bebas bersyarat dengan membayar jaminan yang diajukan Arps ditolak pengadilan. Pengadilan menyatakan Arps akan tetap ditahan hingga persidangan berikutnya pada 15 April mendatang.

Arps yang mengelola bisnis insulasi ini, didakwa menyebarkan video live streaming yang menunjukkan 'banyak korban pembunuhan di Masjid Deans Ave (Masjid Al Noor)' di kota Christchurch. Tindak pidana ini dilakukan Arps pada 16 Maret lalu, atau sehari setelah teror di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood menewaskan 50 orang.

Diketahui bahwa Badan Sensor New Zealand telah menetapkan rating 'tidak pantas' untuk rekaman live streaming yang disiarkan pelaku, Brenton Tarrant (28), saat menembaki para jemaah kedua masjid secara membabi buta pada Jumat (15/3) lalu.

Rating tersebut berarti rekaman video itu dilarang dan siapa saja yang kedapatan menyebarkan video itu terancam hukuman denda hingga NZ$ 10 ribu (Rp 95,7 juta) atau hukuman penjara maksimum 14 tahun penjara.

Saat dihadirkan ke pengadilan, Arps tampak diborgol kedua tangannya. Diketahui bahwa sebelumnya perusahaan yang dipimpin Arps pernah menuai kritikan tajam karena memakai lambang Nazi sebagai logonya. Lambang yang sama dipakai pelaku penembakan dalam manifestonya.

Sementara itu, laporan lain menyebut satu pegawai di sebuah perusahaan di New Zealand dipecat setelah kedapatan menonton rekaman live streaming aksi teror di dua masjid New Zealand saat jam kerja. Pegawai yang tidak disebut namanya itu juga membagikan rekaman video itu kepada kolega-koleganya.

New Zealand Herald melaporkan, pegawai yang dipecat itu bekerja untuk Cyber Research, sebuah perusahaan yang memantau penggunaan komputer internal untuk sekitar 50 perusahaan lainnya. Pendiri Cyber Research, Steve Byrne, menyebut para koleganya terkejut dan kecewa saat mengetahui para pekerja mereka menonton video mengerikan itu saat bekerja. Tidak diketahui apakah pegawai yang dipecat ini juga akan diadili atas aksinya membagikan rekaman video teror itu.

Sementara itu, Perdana Menteri (PM) New Zealand (Selandia Baru), Jacinda Ardern, memilih untuk tidak menyebut nama pelaku teror di dua Masjid Christchurch, New Zealand. Dia merasa, jika menyebutkan nama, para pelaku teror bisa mendapat banyak hal.

"Dia (pelaku-red) mendapat banyak hal dari aksi terornya, kecuali satu hal yakni kemasyhuran -- itulah mengapa Anda tidak akan pernah mendengar saya menyebut namanya," tegas PM Ardern dalam pernyataan emosional saat rapat khusus parlemen New Zealand, seperti dilansir AFP, Selasa (19/3/2019).

PM Ardern sendiri pada saat menyampaikan pernyataan terbaru mengawali dengan salam berbahasa Arab 'Assalamualaikum'. Dia juga terlihat tampil mengenakan kerudung saat mengunjungi keluarga korban aksi teror di Christchurch.

PM Ardern juga meminta kepada warga untuk tidak menyebut nama pelaku yang telah merenggut banyak nyawa manusia.

"Saya memohon kepada Anda: Ucapkan nama-nama korban yang kehilangan nyawa, bukannya nama pria yang merenggut nama mereka," tutur PM Ardern dalam rapat yang digelar di Wellington, empat hari usai teror di dua masjid Christchurch menewaskan 50 orang.

"Dia seorang teroris. Dia seorang kriminal. Dia seorang ekstremis. Tapi saat saya bicara, dia akan tanpa nama," tegasnya.

Pelaku yang diidentifikasi bernama Brenton Tarrant (28) -- seorang warga Australia -- telah dijerat dengan satu dakwaan pembunuhan oleh pengadilan New Zealand. PM Ardern memastikan kepada parlemen bahwa dakwaan-dakwaan pidana lainnya akan dijeratkan kepada pelaku.

Enam jenazah korban aksi teror dua masjid di Christchurch, New Zealand (Selandia Baru), telah diserahkan kepada pihak keluarga. Penyerahan dilakukan setelah proses autopsi terhadap keseluruhan 50 jasad korban selesai dilakukan.

Dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Selasa (19/3/2019), Kepolisian New Zealand menyatakan proses autopsi terhadap 50 jenazah korban telah diselesaikan. Namun tidak semuanya yang telah diidentifikasi secara menyeluruh.

"Hanya 12 korban yang telah teridentifikasi memenuhi kepuasan Koroner," sebut pihak kepolisian dalam pernyataannya.

"Enam dari korban-korban yang telah teridentifikasi itu telah dikembalikan kepada keluarga mereka," imbuh pernyataan itu.

Penyerahan jenazah korban ini mengalami penundaan dari jadwal sebelumnya. Hal ini sempat menuai kekhawatiran di kalangan keluarga korban, yang ingin mengikuti aturan dalam ajaran Islam untuk segera memakamkan jenazah dalam waktu 24 jam usai kematian.

Sebelumnya, Mohamed Safi (23), yang ayahnya meninggal dalam penembakan di Masjid Al Noor, meluapkan rasa frustrasi terhadap otoritas setempat karena sama sekali tidak mendapat indikasi soal waktu penyerahan jenazah korban.

"Tidak ada apapun yang mereka tawarkan," tutur Safi yang merupakan pengungsi Afghanistan ini.

"Mereka hanya mengatakan bahwa mereka melakukan prosedur yang berlaku, mereka menjalankan proses mereka," imbuhnya. "Tapi proses apa? Mengapa saya tidak tahu apa yang Anda lakukan untuk mengidentifikasi jenazah... Mengapa saya tidak dihubungi langsung sebagai anggota keluarga?" ujar Safi mempertanyakan.

Posting Komentar

0 Komentar